
OPINI – Era pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, kita sering mendengar slogan dan quote Revolusi Mental dan quote sebuah cita-cita yang ingin diraih dalam mewujudkan bangsa yang mandiri dan berdikari. Saat kampanye pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2014 yang lalu, gerakan revolusi mental sudah digaungkan sebagai salah satu visi dari Jokowi-JK.
Pasca Jokowi-JK terpilih, program revolusi mental menjadi quote blue print dan quote kerja kurun lima tahun yang terus digaungkan meskipun dalam implementasinya jauh dari harapan. Tetapi sebagai warga negara yang sadar akan realitas bangsa saat ini kita layak mendukungnya karena secara gagasan revolusi mental merupakan sebuah konsep yang bagus nan mulia.
Secara historis gagasan revolusi mental pertama kali dilontarkan oleh Presiden Soekarno pada puncak peringatan hari kemerdekaan 17 Agustus 1956. Dalam pidatonya, Soekarno menyatakan dan quote kalau revolusi di jaman kemerdekaan adalah sebuah perjuangan fisik, mengangkat senjata melawan penjajah dan sekutunya untuk mempertahankan NKRI.
Kini kita membangun suatu negara yang tidak hanya sekadar pembangunan fisik yang sifatnya material, namun yang paling penting adalah membangun jiwa bangsa. Membangun jiwa yang merdeka, mengubah carapandang, pikiran, sikap, dan perilaku yang berorientasi pada cita-cita proklamasi sebagaimana yang termaktub dalam konstitusi negara sehingga Indonesia menjadi bangsa yang besar dan mampu berkompetisi dengan bangsa-bangsa lain di dunia.
Setelah 72 tahun kita merdeka, cita-cita proklamasi bangsa Indonesia yang termuat secara tegas dalam falsafah Pancasila dan pembukaan UUD 1945 masih jauh dari kenyataan. Presiden Jokowi, sebagai orang kedua yang mencetuskan jargon revolusi mental justru banyak mendapat sorotan publik. Hal ini dikarenakan Presiden Jokowi dianggap banyak mengeluarkan kebijakan yang tidak pro rakyat. Contohnya, kebijakan menaikkan BBM dan TDL ditengah-tengah turunnya harga minyak dunia, kebijakan tenaga kerja asing, pinjaman luar negeri yang semakin membengkak, kebijakan impor gula, garam dan beras yang berdampak buruk bagi ekonomi nasional, anjloknya harga rupiah hingga mendekati Rp14 ribu per 1 USD dan kontrak kerjasama ekonomi yang bertentangan dengan semangat pasal 33 UUD 45 yang akibatnya 77 persen kekayaan negara hanya dikelolah oleh 10 konglomerat “hitam”.
Belum lagi masalah-masalah krusial yang dihadapi bangsa saat ini. Semisal ancaman terorisme, peredaran narkotika, tingginya harga pangan, tingginya angka pembunuhan dan pemerkosaan, kemorosotan moral generasi muda, perampokan uang Negara oleh pejabat pusat dan daerah, meluasnya gaya hidup individualistik dan paham anarkis, serta merebaknya sikap intoleransi. Pendek kata, program revolusi mental yang yang dicanangkan pemerintah gagal sebab pada implementasinya program revolusi mental belum mengkristal dan menjadi suatu program yang jelas dan nyata.
Padahal program revolusi mental sudah banyak menelan anggaran negara. Contoh di tahun anggaran 2015 pemerintah menganggarkan program revolusi mental kurang lebih Rp149 miliar untuk kegiatan sosialisasi, dan di tahun ini pun pemerintah mengalokasikan dana revolsui mental pencapai hingga angka yang cukup besar dan terbagi di empat kementerian.
Sayangnya, Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani, yang ditugaskan untuk mengkoordinir implementasi program yang terkait revolusi mental justeru mendapatkan raport merah dari rakyat. Akhirnya problem sosial akibat rusaknya mental dan quote yang sejatinya di revolusi untuk membangun jiwa bangsa menjadi manusia baru yang berintegritas, mau bekerja keras, dan punya semangat gotong royong, hanyalah iklan-klan dengan simbol kerja, kerja, kerja.
Ramadan dan Idul Fitri mewujudkan Revolusi Mental
Jika gerakan revolusi mental bertujuan untuk merubah pola pikir (mindset) negatif menjadi positif dan membentuk manusia Indonesia agar menjadi manusia baru yang berintegritas, mau bekerja keras, dan punya semangat gotong royong. Maka Ramadan mendidik pribadi-pribadi manusia berkarakter yang bemula dari karakter individu-individu, yang kemudian melahirkan sebuah karakter bangsa. Dari pribadi-pribadi yang hebat, lalu membentuk watak sebuah bangsa yang hebat pula.
Apapun puncaknya, adalah Idul Fitri (kesucian jiwa) yang merupakan akar dari revolusi mental sesungguhnya. Dengan kesucian jiwa itu, setiap insan manusia Indonesia akan melihat segala sesuatu secara positif. Kesucian adalah gabungan dari tiga unsur, yaitu benar, baik dan indah. Karena itu, orang yang meraih kemenangan saat Idul Fitri akan selalu berbuat baik, benar dan indah.
Dalam konteks berbangsa dan bernegara, puasa Ramadan merupakan perwujudan dari falsafah Pancasila. Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia dan Keratkyatan yang di Pimpin Oleh Hikmat/Kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan dan dengan mewujudkan suatu keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Mengapa demikian? karena pertama, Ramadan menghadirkan eksistensi Tuhan. Dengan adanya kehadiran Tuhan dalam diri manusia maka perbuatan korup tidak dapat ia lakukan, karena Allah melihat secara terang dan tersembunyi. Inilah yang dimaksud dengan sila pertama.
Kedua, Ramadan mengingatkan betapa kemanusiaan dan keadilan harus tegak. Kemanusiaan dan keadilan adalah lanjutan dari keadaban yang kemudian menjadi nilai peradaban manusia. Membayar zakat misalnya merupakan nilai kemanusiaan dan keadilan sebab kebagiaan tidak hanya dinimkati sendiri tetapi secara bersama-sama. Inilah yang dimaksud dengan sila kedua.
Ketiga, Ramadan membangun persatuan umat, maka tidak mengherankan, setiap kali bulan ramadhan nuansa persatuan begitu kental. Umat bersatu padu melaksanakan ibadah puasa, menjalin silaturrahim dan mempererat persaudaraan baik sesama muslim maupun sesama umat manusia. Inilah wujud dari sila ketiga.
Keempat, Ramadan mengajarkan permusyawaratan dan perwakilan yang porfesional. Lihatlah dalam setiap penentuan 1 ramadhan dan 1 syawal. Mereka yang duduk dalam sidang isbat adalah perwakilan-perwakilan para ahli bukan hanya sekadar duduk mewakili suara umat, tapi mereka mempunyai ilmu yang kuat. Mereka mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat, tidak memaksakan kehendak pada orang lain serta mengutamakan budaya rembuk atau musyawarah dalam mengambi keputusan. Inilah bentuk dari sila ke empat.
Kelima, Ramadan mencerminkan keadilan sosial. Ramadan memberikan pelajaran penting agar mengenal bagaimana kehidupan orang-orang yang lemah (mustadafin). Memupuk sikap empati terhadap orang miskin dan lemah agar ikut merasakan kondisi tekanan kehidupan mereka. Sikap simpati, empati, dan toleransi merupakan cita-cita kemerdekaan Indonesia yang adil dan makmur. Inilah yang dimaksud dengan sila ke lima.
Oleh karena itu, Ramadan harus menjadi bagian dari sarana perbaikan akhlak bangsa. Mengimplementasikan ajaran Islam sebagai konsep Rahmatan Lil Alamin, saling peduli satu sama lain, saling memahami perbedaan dan tentunya dapat dijadikan sebagai bulan kontemplasi.
Maka, dengan demikian presiden Jokowi sesungguhnya tidak perlu terlalu pusing mencari model pelatihan untuk revolusi mental yang hingga kini belum jelas benar ujungnya. Allah telah menyediakannya dengan puasa Ramadan sebulan penuh. Betapa dahsyatnya nilai-nilai pelatihan yang terkandung dalam ajaran Ramadan yang bersumber dari Allah SWT. Dan dapat merubah sebuah bangsa menjadi hebat dan luar biasa. Ramadan momentum perubahan bangsa Indonesia lebih maju, Ramadan membangun kepercayaan diri, menggapai mimpi sebagai sebuah bangsa yang terdepan di masa yang akan datang.
Adapun Idul fitri tidak hanya menjadi hari kemenangan dan hari kembali suci setelah melebur dosa dengan puasa dan menahan dari segala yang membatalkan selama satu bulan penuh, tetapi idul fitri juga harus mengubah mental, sikap dan akhlak menjadi lebih baik dan terpuji. Yang dibangun adalah manusianya.
Jadi, kemegahan apapun yang diwujudkan dalam sebuah peradaban, maka akan tak berarti manakala manusianya tak berakhlak.
Lambat laun bangsa itu karam dari panggung sejarah. Melihat kondisi bangsa saat ini, tak heran jika program revolusi mental ala ramadhan dan idul fitri itu dibutuhkan untuk membangun bangsa kearah yang lebih baik. Karena sekaya apapun sumber daya alam yang dimiliki jika tidak dibarengi dengan sumber daya manusia yang baik, tentu hasilnya pun akan tidak baik. Dan hal yang sangat menggembirakan adalah, adanya Ramadan dan Idul Fitri sebagai ajang untuk meningkatkan kualitas akhlak atau mental masyarakat, pejabat maupun pemimpin, agar lebih mapan dalam membangun bangsa ini.
Semoga hadirnya Ramadan dan Idul Fitri di tahun 2018 ini benar-benar memberikan pengaruh positif bagi perbaikan karakter bangsa. Mengubah cara pandang, pikiran, sikap, dan perilaku yang benar, baik dan indah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, Amin.
Penulis : Abdussalam Bonde (Ketua DPD KNPI Kab. Bolaang Mongondow)